Pengertian ḍalāl (ضلال) dalam Pandangan Islam

Saturday, 13 December 2025 Oleh Admin
Pengertian ḍalāl (ضلال) dalam Pandangan Islam
Bagikan

Ḍalāl secara umum berarti kesesatan atau tersesat, yaitu keadaan menyimpang dari kebenaran atau jalan yang seharusnya. Dalam ajaran Islam, istilah ini mencakup konsep berpaling dari petunjuk Allah sehingga seseorang berada di jalan yang salah. Berikut penjelasan sistematis tentang ḍalāl:

Definisi ḍalāl secara Bahasa dan Istilah

  • Secara bahasa (etimologi): Kata ḍalāl (ضلال) berasal dari akar kata ḍalla–yaḍillu yang berarti “sesat” atau “hilang arah”, lawan dari hidāyah (petunjuk)

 Makna asalnya mencakup kehilangan jalan, kebingungan, atau tidak tahu arah. Seiring penggunaan, makna ini berkembang menjadi “menyimpang dari jalan kebaikan”, yakni segala tindakan atau ucapan yang “tidak menyentuh kebenaran” (yakni keluar dari jalur yang benar). Dengan demikian, secara bahasa ḍalāl berarti kondisi tersesat atau menyimpang yang berlawanan dengan petunjuk yang benar.

  • Secara istilah (terminologi Islam): Ḍalāl berarti penyimpangan dari ajaran Islam yang benar, atau berpaling dari kebenaran agama hingga masuk dalam kekufuran. Ulama menegaskan bahwa hakikat ḍalāl adalah “pergi meninggalkan kebenaran,” diambil dari makna tersesat jalan, yaitu menyimpang dari jalan lurus yang seharusnya. Ibnu ‘Arafah menjelaskan bahwa menurut tradisi Arab, seseorang dianggap “sesat (dalal)” bila ia menempuh jalan yang bukan tujuan (tidak mengantarkan pada maksud yang benar). Secara syar’i (agama), jalan yang benar itu adalah Islam dan iman; maka berpaling darinya (baik dengan menolak kebenaran atau menyimpang dalam akidah) disebut ḍalāl. Dengan kata lain, ḍalāl secara istilah merujuk pada segala bentuk penyimpangan dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya, terutama dalam perkara pokok agama (akidah), sehingga orang tersebut berada di jalan yang salah (sesat).

Macam-Macam Bentuk ḍalāl

Dalam perspektif syariat, kesesatan dapat muncul dalam beberapa bentuk utama. Secara garis besar, para ulama mengelompokkan ḍalāl menjadi tiga kategori berikut:

  1. Kesesatan dalam Keyakinan (Akidah):

Penyimpangan pada aspek kepercayaan dan tauhid. Ini adalah bentuk ḍalāl yang paling mendasar, terjadi ketika seseorang memiliki keyakinan yang tidak benar menurut Allah dan Rasul-Nya. Contohnya adalah menyekutukan Allah dengan sesuatu (syirik) atau mengingkari rukun iman. Keyakinan tentang ketuhanan yang melenceng (misalnya menyembah berhala, percaya ada tuhan tandingan, dsb.) dikategorikan sebagai kesesatan akidah yang parah. Manusia dikatakan sesat bila memiliki keyakinan yang menyimpang dari tauhid yang benar, karena dalam Islam konsep ketuhanan sangat fundamental. Permintaan Bani Israil agar Nabi Musa membuatkan sesembahan berhala, misalnya, disebut Nabi Musa sebagai tindakan jahil (bodoh) yang sesat (QS Al-A‘raf [7]: 138). Menyimpang dalam akidah seperti ini berarti meninggalkan jalan lurus iman, dan Islam menegaskan bahwa tanpa akidah yang lurus, kebahagiaan dunia-akhirat tidak akan tercapai.

  1. Kesesatan dalam Pemikiran dan Perkataan:

Penyimpangan yang muncul dalam ideologi, pemahaman, atau ucapan. Ini terjadi ketika ucapan atau pemikiran yang salah diyakini sebagai benar, sehingga menyesatkan diri sendiri dan orang lain. Sebagai contoh, para pembesar kafir Quraisy menyebut wahyu Al-Qur’an sebagai “dongeng orang dahulu” – ucapan batil yang dipercayai sebagian orang dan menyesatkan mereka dari kebenaran (QS An-Nahl [16]: 24-25). Ucapan yang mengandung syubhat (kerancuan) atau kebohongan tentang agama termasuk bentuk ḍalāl pada level pemikiran. Orang yang mengikuti ideologi sesat, propaganda anti-agama, atau penafsiran menyimpang atas ajaran Islam berarti telah tersesat dalam cara berpikirnya. Perkataan batil yang disebarkan bukan hanya menyesatkan diri pelaku, tetapi juga membuat orang lain ikut tersesat tanpa sadari. Ini mencakup misalnya menyangkal ajaran yang jelas, menyebarkan bid’ah pemikiran, atau menghalalkan yang haram dengan dalih logika semata.

  1. Kesesatan dalam Perbuatan (Amal):

Penyimpangan dalam tindakan dan perilaku, yaitu melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah dalam syariat. Orang yang melanggar aturan Allah atau menyimpang dalam praktik ibadah berada pada jalan kesesatan dalam amal perbuatan. Contohnya termasuk menjalankan ritual atau amalan yang tidak ada tuntunan (bid’ah dalam ibadah), atau meninggalkan hukum Allah dan menggantinya dengan hukum selainnya yang bertentangan dengan syariat. Dalam Qur’an, Allah berfirman: “Apakah mereka menghendaki hukum jahiliyah? Padahal hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah?” (QS Al-Māidah [5]: 50). Ayat ini menegaskan bahwa mengabaikan hukum Allah merupakan suatu kesesatan. Contoh nyata, bila seseorang atau masyarakat lebih memilih aturan yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Allah (adil buruk menurut syara’), maka itu ḍalāl dalam perbuatan. Rasulullah ﷺ juga mengingatkan dalam kasus penegakan hukum bahwa tidak boleh ada penyimpangan: “Seandainya putriku Fatimah mencuri, pasti akan kupotong tangannya”, artinya sekecil apapun pelanggaran hukum Allah tidak boleh dibiarkan.

Kesesatan dalam perbuatan dapat meliputi segala maksiat terang-terangan, inovasi ibadah yang tak ada dasar syar’i, hingga ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan dengan sadar. Semuanya merupakan penyimpangan dari jalan hidup yang diridhai Allah.

Contoh-Contoh Perilaku dan Keyakinan yang Termasuk ḍalāl

Berikut beberapa contoh nyata dari perilaku atau keyakinan yang dianggap ḍalāl (sesat) menurut syariat Islam:

  • Menyekutukan Allah (syirik) dalam ibadah: Ini adalah contoh kesesatan paling besar dalam akidah. Pelaku syirik berpaling dari tauhid dengan menyembah selain Allah. Misalnya, Bani Israil pernah meminta dibuatkan berhala untuk disembah seperti kaum musyrik lainnya. Nabi Musa menegur mereka bahwa permintaan itu adalah bukti kejahilan (kebodohan) mereka. Syirik merupakan penyimpangan fatal karena menggugurkan tauhid, dan Al-Qur’an menyebut bahwa pelaku syirik “telah sesat sejauh-jauhnya” (QS An-Nisā’ [4]: 116) Allah tidak akan mengampuni dosa syirik jika pelakunya tidak bertobat, karena syirik menempatkan pelaku pada jalan yang benar-benar jauh dari hidayah.
  • Mengingkari pokok-pokok iman atau murtad (kufur): Seseorang yang menolak rukun iman (seperti tidak percaya kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, atau hari akhir) berarti jatuh dalam kesesatan akidah yang nyata. Al-Qur’an menyatakan: “Siapa yang mengingkari (keberadaan) Allah, malaikat, kitab, rasul, dan Hari Akhir, maka ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS An-Nisā’ [4]: 136) Demikian pula, “Barangsiapa menukar keimanannya dengan kekafiran, maka sungguh ia telah tersesat dari jalan yang lurus” (QS Al-Baqarah [2]: 108).

Contoh nyata adalah orang yang keluar dari Islam (murtad) atau mengingkari kewajiban dasar (seperti menganggap shalat tidak wajib, dst.) – tindakan tersebut menjerumuskan pelakunya ke dalam ḍalāl yang serius menurut syariat.

  • Mengada-adakan ajaran baru dalam agama (bid‘ah) yang tidak berdasar dalil: Inovasi atau rekayasa dalam ritual ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi termasuk perilaku sesat dalam kategori amal. Nabi Muhammad ﷺ bersabda tegas: “Kullu bid‘atin ḍalālah”, artinya “setiap bid‘ah adalah kesesatan” Misalnya, membuat ritual ibadah baru, menambah atau mengurangi tatacara ibadah tanpa landasan, atau ritual sinkretis yang tidak sesuai tuntunan, semuanya dianggap bid‘ah yang menyesatkan. Bahkan dalam lanjutan hadits disebutkan “kullu ḍalālatin fi an-nār”setiap kesesatan (tempatnya) di neraka.

Contoh konkret: seseorang meyakini bahwa upacara ritual tertentu yang tidak dikenal dalam syariat dapat mendekatkan diri kepada Allah. Jika hal itu tidak ada tuntunannya, maka keyakinan dan praktik tersebut tergolong ḍalāl. Bid’ah merusak kemurnian ajaran dan menjauhkan pelakunya dari Allah, meskipun mungkin niatnya dianggap baik.

  • Melanggar hukum Allah dan mengikuti hukum/aturan selain syariat: Perbuatan sengaja menyalahi ketentuan Allah demi mengikuti aturan lain (yang batil) juga contoh nyata kesesatan dalam perilaku. Allah menggolongkan orang yang tidak mau berhukum dengan hukum-Nya sebagai orang kafir (QS Al-Māidah [5]: 44) Misalnya, jika seseorang atau penguasa menetapkan hukum yang melegalkan sesuatu yang diharamkan Allah (seperti riba, zina, dsb.) dan meninggalkan hukum Allah, hal itu adalah bentuk kesesatan besar. Dalam QS Al-Māidah [5]:50, Allah mengingatkan agar tidak sekali-kali mendambakan hukum selain dari-Nya.

Contoh lainnya, bila seseorang enggan menjalankan syariat (misal enggan berhijab karena mengikuti tren yang melanggar syariat, atau enggan jujur karena norma bisnis yang curang), maka ia mengikuti jalan kesesatan perilaku. Intinya, setiap tindakan yang Allah larang namun tetap dilakukan secara sadar menandakan orang tersebut menyimpang dari jalan benar. Seorang muslim harus berhati-hati agar tidak terjerumus dalam kesesatan amal semacam ini, meskipun terkadang tampak sepele.

Dalil dari Al-Qur’an dan Hadis tentang ḍalāl

Ajaran Islam dipenuhi peringatan agar umat menjauhi ḍalāl. Berikut beberapa dalil penting dari Al-Qur’an dan Hadis yang menjelaskan tentang kesesatan:

  • Al-Qur’an: Allah Ta’ala berulang kali menyebut konsepsi ḍalāl dalam kitab-Nya. Di antaranya: “Barangsiapa menukar keimanannya dengan kekafiran, maka sungguh ia telah sesat sejauh-jauhnya (dari jalan yang lurus)”QS. Al-Baqarah [2]: 108

Juga firman-Nya: “Siapa yang mengingkari Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”QS. An-Nisā’ [4]: 136

Allah memperingatkan kaum beriman agar tidak mengikuti jejak orang kafir: “Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”QS. Al-Ahzāb [33]: 36. Sebaliknya, Allah menegaskan tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam karena “telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (kebatilan)” – QS. Al-Baqarah [2]: 256.

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa meninggalkan iman atau menentang perintah Allah adalah bentuk kesesatan yang nyata menurut Al-Qur’an. Selain itu, banyak ayat lain memakai kata ḍalāl untuk kaum yang tersesat. Umpamanya, kaum Nabi Nuh dicap “dalam kesesatan yang nyata” karena menolak ajaran tauhid (QS. Al-A‘rāf: 60) dan orang-orang kafir Quraish disebut “berada dalam kesesatan yang jauh” karena menolak kebenaran (QS. Fuṣṣilat: 52). Seluruh dalil Qur’ani ini menegaskan agar kita menjauhi sifat-sifat ahli ḍalāl.

  • Hadis Nabi: Rasulullah ﷺ juga memberikan peringatan tegas tentang bahaya kesesatan. Dalam sebuah hadis sahih, beliau bersabda: “Fa inna kulla muḥdatsatin bid‘ah, wa kulla bid‘atin ḍalālah, wa kulla ḍalālatin fi an-nār.” Artinya: “Sesungguhnya setiap yang diada-adakan (dalam urusan agama) itu bid‘ah, setiap bid‘ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan (tempatnya) di neraka.”

Hadis ini terdapat dalam riwayat Muslim (dan bagian akhirnya diriwayatkan juga oleh an-Nasā’ī dan lainnya) Pesan Nabi tersebut kerap diucapkan dalam khutbah, menggarisbawahi bahwa segala penyimpangan dalam agama akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Selain itu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada dasarnya, maka amalan itu tertolak” (HR. Bukhari & Muslim). Ini berarti setiap praktik menyimpang (ḍalāl) tidak akan diterima Allah. Hadis lain menyebut: “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; semuanya di neraka kecuali satu (yaitu yang mengikuti sunnahku dan para sahabatku)” (HR. Tirmidzi).

Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang detail hadis ini, maknanya memperingatkan munculnya sekte-sekte sesat dalam umat Islam dan hanya yang berpegang teguh pada kebenaranlah yang selamat. Intinya, Nabi SAW telah mengingatkan bahwa menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah akan membawa akibat fatal, sehingga muslim harus berpegang pada jalan hidayah.

Dampak atau Akibat dari ḍalāl Menurut Ajaran Islam

Islam menjelaskan bahwa kesesatan (ḍalāl) membawa dampak buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat. Beberapa akibat ḍalāl yang diingatkan dalam nash dan ulama antara lain:

  • Terhalangnya Hidayah dan Hati Menjadi Tertutup: Orang yang memilih jalan sesat akan dijauhkan dari petunjuk. Allah bisa membiarkan hati orang tersebut tertutup sehingga semakin sulit menerima kebenaran. Al-Qur’an menjelaskan fenomena ini: “Maka Allah menyesatkannya dengan ilmu-Nya dan mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya” (QS. Al-Jāthiyah [45]: 23) Artinya, jika seseorang lebih mengutamakan hawa nafsu (syahwat atau pendapat pribadi) sebagai “tuhan” dalam hidupnya, Allah akan membiarkannya tenggelam dalam kesesatan – hati dan panca inderanya tidak peka lagi pada kebenaran. Ini merupakan hukuman di dunia: hati yang keras dan tidak mendapat cahaya hidayah. Dalam konteks sosial, ḍalāl juga menyebabkan kerusakan moral dan akhlak; misalnya orang yang sesat pikirannya cenderung menghalalkan berbagai cara, hidup gelisah tanpa panduan, dan dapat menularkan kesesatan itu ke lingkungan sekitarnya.
  • Kehidupan Dunia yang Merugi: Kesesatan sering berujung pada kerugian dan kehancuran hidup di dunia. Bangsa-bangsa terdahulu yang menyimpang dari petunjuk para nabi akhirnya ditimpa azab Allah (seperti kaum ‘Ad, Tsamud, kaum Nabi Luth, dll). Dalam skala individu, orang sesat bisa terjebak dalam perbuatan yang merusak diri (misal pecandu maksiat kehilangan kehormatan dan kesehatan, pemimpin zalim menjerumuskan negerinya ke dalam kehancuran moral). Allah berfirman, “Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lain selain jalan Allah), karena itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An‘ām [6]: 153). Ini mengandung pelajaran bahwa menempuh jalan sesat akan membuat hidup tersesat dan tercerai-berai, tidak mencapai tujuan mulia. Bahkan meski secara materi tampak berhasil, Al-Qur’an menyebut amal perbuatan orang-orang yang ingkar itu bagaikan fatamorgana, pada akhirnya sia-sia (QS. An-Nūr: 39). Jadi dampak ḍalāl di dunia adalah kehilangan arah hidup yang benar, potensi terkena musibah azab, serta hidup dalam keadaan tidak diridhai Allah.
  • Penyesalan dan Azab di Akhirat: Inilah dampak terberat dari kesesatan. Seseorang yang mati dalam keadaan tersesat (misguidance) akan menghadapi penyesalan besar di akhirat. Al-Qur’an menggambarkan adegan di Hari Kiamat di mana orang-orang kafir dan sesat menyesali pilihan hidup mereka. Mereka berkata: “Alangkah baiknya andai dulu kami taat kepada Allah dan Rasul” seraya mengakui bahwa mereka dulunya mengikuti pemimpin-pemimpin yang menyesatkan mereka dari jalan benar (QS. Al-Ahzāb [33]: 66-67) Penyesalan ini tidak ada gunanya karena waktu sudah habis. Para pengikut yang tersesat bahkan berdoa agar pemimpin sesat mereka diberi azab dua kali lipat sebagai balasan menyesatkan orang banyakAyat-ayat tersebut menunjukkan bahwa di neraka kelak, orang yang tersesat akan disiksa dan diliputi penyesalan mendalam. Hadis Nabi pun menegaskan hal serupa: “setiap kesesatan tempatnya di neraka” Artinya, orang yang tetap berada di jalan ḍalāl hingga akhir hayatnya, akibat akhirnya adalah masuk neraka – disana wajah mereka dibolak-balik dalam api dan mereka dicela sebagai seburuk-buruk makhluk, Na‘ūdzubillāh ini adalah konsekuensi spiritual yang paling menakutkan.

Kesesatan yang mungkin terlihat ringan di dunia (misal, menganggap enteng sunnah Nabi atau mengikuti paham menyimpang) bisa berujung pada kerugian kekal jika tidak bertaubat. Sebaliknya, orang yang selamat (ahli hidayah) akan meraih kebahagiaan abadi.

  • Beban Dosa yang Ditanggung: Pelaku kesesatan tidak hanya menanggung dosanya sendiri, tapi bisa jadi memikul dosa orang lain yang tersesat karena ulahnya. Quran Surat An-Nahl ayat 25 menjelaskan bahwa orang kafir yang menyesatkan orang lain akan memikul dosa mereka sendiri “dan juga menanggung dosa orang-orang yang mereka sesatkan” tanpa mengurangi dosa para pengikutnyaIni berarti dampak kesesatan meluas: seorang yang menjadi sumber ḍalāl (misguidance) akan mendapat tambahan beban dosa dari para pengikutnya. Contohnya, pemimpin yang mengajak pada jalan sesat (ideologi atau perbuatan) tidak hanya dihukum atas kesesatan pribadinya, tetapi juga atas semua orang yang ia pengaruhi. Imam ‘Ali bin Abi Thalib RA berkata: “Sejelek-jelek manusia di sisi Allah adalah pemimpin yang durhaka, dia sesat dan menyesatkan (orang lain), mematikan sunnah dan menghidupkan bid‘ah…” Ucapan ini memperingatkan bahwa orang yang menularkan kesesatan menjadi makhluk yang amat dibenci Allah. Di akhirat, setiap orang yang menyesatkan akan diganjar setimpal dengan dampak dari kesesatannya tersebut. Inilah sebabnya menyebarkan ajaran sesat dianggap kejahatan besar dalam Islam, karena merusak banyak jiwa.

Kesimpulan: Ḍalāl (kesesatan) dalam pandangan Islam mencakup segala bentuk penyimpangan dari ajaran Allah dan Rasul. Secara bahasa berarti tersesat (hilang arah) dan secara istilah berarti menyimpang dari jalan lurus Islam menuju kekufuran atau kebatilan. Kesesatan dapat terjadi dalam aspek keyakinan, pemikiran/ucapan, maupun perbuatan, dengan contoh-contoh mulai dari syirik, bid’ah, hingga maksiat terencana. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis dengan tegas mengecam ḍalāl – Allah menyebut orang kafir dan munafik berada dalam “kesesatan yang nyata”, dan Nabi mengingatkan setiap bid’ah adalah kesesatan yang membawa ke neraka. Dampak kesesatan sangatlah buruk: di dunia hati menjadi gelap dan jauh dari kebenaran, di akhirat mendapat azab pedih dan penyesalan tiada tara. Oleh karena itu, umat Islam diwajibkan senantiasa mencari hidayah dan berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah agar tidak tergolong orang-orang yang “ḍāllīn” (tersesat) sebagaimana disebut dalam Surat Al-FātiḥahSemoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk dan menjauhkan kita dari segala bentuk ḍalāl. Āmīn

---------------------------------------------------------

Ditulis oleh Dindin Ahmad Tohidin (Mubaligh PC Pemuda Persis Banjaran)
Disampaikan pada Halaqah Pasca Maruf (Halaqah 1) PC Pemuda Persis Banjaran