Sejarah Bani Israil Dan Konflik Palestina- Israel Tinjauan Historis Dan Akademis

Monday, 28 April 2025 Oleh Admin
Sejarah Bani Israil Dan Konflik Palestina- Israel Tinjauan Historis Dan Akademis
Bagikan
  1. Pendahuluan

Sejarah Bani Israil dan konflik Palestina-Israel merupakan topik yang telah menjadi perhatian akademisi, sejarawan, dan masyarakat internasional selama berabad -abad. Bani Israil, sebagai salah satu kelompok etnis dan keagamaan yang tercatat dalam berbagai sumber sejarah, memiliki perjalanan panjang yang penuh dinamika, mulai dari masa para nabi, pembuangan, hingga diaspora di berbagai belahan dunia. Sejarah mereka tidak terlepas dari peran agama, politik, dan geostrategis yang terus berkembang dari masa ke masa.

Konflik Palestina-Israel yang kita saksikan hari ini memiliki akar yang kompleks dan berlapis, melibatkan aspek historis, ideologis, serta kepentingan politik global. Klaim atas tanah Palestina telah menjadi isu utama dalam berbagai diskusi, baik dari perspektif agama maupun hukum internasional. Berbagai peristiwa penting seperti Deklarasi Balfour (1917), pendirian negara Israel (1948), dan perang-perang yang terjadi setelahnya telah memperumit keadaan dan menimbulkan dampak berkepanjangan bagi penduduk Palestina. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji sejarah Bani Israil serta konflik Palestina-Israel dari sudut pandang historis dan akademis. Dengan menggunakan sumber-sumber terpercaya dan pendekatan multidisipliner, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih objektif dan komprehensif mengenai akar konflik serta kemungkinan solusi yang dapat ditempuh untuk mencapai perdamaian yang berkeadilan.

  1. Sejarah Bani Israil pada Zaman Nabi Ibrahim

Bani Israil memiliki akar sejarah yang erat dengan perjalanan Nabi Ibrahim AS, yang dikenal sebagai bapak para nabi dan tokoh penting dalam tiga agama samawi: Islam, Kristen, dan Yahudi. Nabi Ibrahim AS hidup pada sekitar abad ke-20 SM dan berasal dari Ur, sebuah kota di Mesopotamia (sekarang bagian dari Irak). Dalam perjalanan spiritualnya, beliau menerima wahyu dari Allah SWT dan diperintahkan untuk meninggalkan kaumnya yang masih menyembah berhala (Al-Qur'an, Surah Al-An’am [6]: 74-79). Perintah ini mengantarkan beliau pada perjalanan ke tanah Kanaan (Palestina), tempat di mana keturunannya kelak berkembang dan menjadi asal-muasal Bani Israil (Ibn Kathir, 2003).

Setelah hijrah ke tanah Kanaan, Nabi Ibrahim AS menikahi Sarah dan Hajar. Dari Hajar, beliau dikaruniai putra bernama Ismail AS, yang menjadi leluhur bangsa Arab, sementara dari Sarah lahirlah Ishaq AS, yang kemudian menurunkan Ya’qub AS. Ya’qub AS inilah yang dikenal dengan nama lain “IsraIl,” dan keturunannya disebut sebagai Bani Israil (Al-Qur'an, Surah Maryam [19]: 49-50). Keturunan Ishaq AS, khususnya dari jalur Ya’qub AS, berkembang di tanah Kanaan dan menjadi bangsa yang memiliki peran penting dalam sejarah keagamaan dan politik di kawasan tersebut (Al-Tabari, 1990).

Pada masa Nabi Ibrahim AS, tanah Kanaan merupakan wilayah yang dihuni oleh berbagai suku bangsa, termasuk bangsa Kanaan yang kemudian banyak berinteraksi dengan keturunan beliau. Nabi Ibrahim AS menerima janji dari Allah SWT bahwa tanah tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi keturunannya yang taat kepada-Nya (Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah [2]: 124). Namun, janji ini bukan dalam konteks kepemilikan mutlak atas wilayah tersebut, melainkan sebagai bentuk keberkahan bagi umat yang mengikuti ajaran tauhid. Oleh karena itu, klaim bahwa tanah Palestina hanya diperuntukkan bagi Bani Israil tidak memiliki landasan yang sah menurut ajaran Islam, karena hak atas tanah ditentukan oleh ketaatan kepada Allah SWT, bukan sekadar keturunan biologis (Qutb, 2000).

  1. Penduduk Asli Tanah Palestina

Tanah Palestina merupakan salah satu wilayah tertua yang dihuni oleh berbagai peradaban sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan sejarah menunjukkan bahwa sebelum kedatangan bangsa Israel, wilayah ini telah dihuni oleh berbagai kelompok etnis, terutama bangsa Kanaan yang merupakan penduduk asli Palestina sejak sekitar 3000 SM. Bangsa Kanaan adalah bagian dari suku Semit yang memiliki budaya, bahasa, dan sistem sosial yang berkembang pesat di kawasan tersebut. Al-Qur'an juga menyebutkan keberadaan kaum-kaum terdahulu yang mendiami wilayah ini sebelum kedatangan Bani Israil, sebagaimana dalam firman Allah SWT: "Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, 'Wahai kaumku! Ingatlah nikmat Allah kepada kamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kamu, dan menjadikan kamu sebagai orang-orang yang merdeka, serta memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain’” (Al-Qur’an, Surah Al-Ma’idah [5]: 20).

Bangsa Kanaan dikenal sebagai peradaban yang maju dalam bidang pertanian, perdagangan, dan pemerintahan. Mereka mendirikan kota-kota besar seperti Yerikho dan Yerusalem jauh sebelum kedatangan Bani Israil. Sejumlah penelitian arkeologis membuktikan bahwa bangsa Kanaan memiliki sistem irigasi yang canggih serta budaya yang berkembang, mencerminkan eksistensi mereka sebagai penduduk asli Palestina. Selain bangsa Kanaan, wilayah ini juga dihuni oleh kelompok-kelompok lain seperti orang Filistin, yang berasal dari kawasan Laut Aegea dan menetap di daerah pesisir Gaza pada sekitar abad ke-12 SM (Al-Tabari, 1990). Keberadaan mereka membuktikan bahwa Palestina adalah tanah yang telah lama dihuni oleh berbagai bangsa sebelum kedatangan Bani Israil.

Konsep kepemilikan atas tanah Palestina dalam Islam tidak didasarkan pada klaim etnis tertentu, melainkan pada prinsip ketaatan kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan bahwa kepemilikan suatu negeri bukanlah hak mutlak suatu kaum tertentu, melainkan diberikan kepada mereka yang beriman dan berbuat kebajikan: "Dan sungguh telah Kami tuliskan dalam Zabur setelah (tertulis) dalam Lauh Mahfuz, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh" (Al-Qur'an, Surah Al-Anbiya’ [21]: 105). Ayat ini menegaskan bahwa keberkahan suatu wilayah tidak hanya bergantung pada keturunan atau etnis, tetapi pada keimanan dan amal saleh. Oleh karena itu, klaim eksklusif atas tanah Palestina berdasarkan garis keturunan tidak dapat dibenarkan dalam Islam, karena Al-Qur’an menekankan prinsip keadilan dan ketaatan kepada Allah sebagai dasar kepemilikan.

Sejarah juga mencatat bahwa sebelum terbentuknya negara Israel pada tahun 1948, tanah Palestina dihuni oleh berbagai komunitas, termasuk Muslim, Kristen, dan Yahudi yang hidup berdampingan selama berabad-abad di bawah pemerintahan Islam, terutama selama Kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, hingga era Kesultanan Utsmaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa Palestina bukan hanya milik satu kelompok etnis, melainkan sebuah tanah yang memiliki sejarah panjang dengan keberagaman budaya dan agama. Oleh karena itu, memahami realitas sejarah ini penting untuk melihat konflik Palestina-Israel dengan perspektif yang lebih objektif dan akademis (Qutb, 2000).

  1. Sejarah Munculnya Kaum Yahudi

Kaum Yahudi berasal dari keturunan Bani Israil, yang merupakan anak cucu Nabi Ya’qub AS (Israil). Sejarah mencatat bahwa mereka pertama kali muncul sebagai komunitas yang berkembang di tanah Kanaan (Palestina) setelah masa Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ishaq AS. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: "Dan Kami anugerahkan kepada Ishaq (seorang putra) Ya’qub, sebagai tambahan (nikmat). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh" (Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya’ [21]: 72). Dari keturunan Ya’qub AS inilah lahir dua belas suku Bani Israil, yang kemudian berkembang menjadi suatu komunitas yang dikenal sebagai kaum Yahudi. Mereka mulai terbentuk sebagai kelompok etnis dan keagamaan yang memiliki aturan hidup sendiri, sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka, terutama Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS.

Setelah mengalami masa perbudakan di Mesir di bawah kekuasaan Firaun, kaum Bani Israil dipimpin oleh Nabi Musa AS untuk keluar dari Mesir dalam peristiwa besar yang dikenal sebagai Eksodus. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an: "Dan (ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir’aun) dan kaumnya, yang menyiksa kamu dengan siksaan yang sangat berat, membunuh anak laki-laki kamu dan membiarkan hidup anak perempuan kamu. Dan pada yang demikian itu terdapat ujian yang besar dari Tuhanmu" (Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 49). Setelah keluar dari Mesir, mereka mengembara di padang pasir selama 40 tahun sebelum akhirnya memasuki tanah Palestina di bawah kepemimpinan Yusya’ bin Nun (Al-Tabari, 1990).

Seiring waktu, kaum Yahudi berkembang menjadi sebuah komunitas yang memiliki hukum dan tradisi sendiri. Mereka mendirikan Kerajaan Israel dan Yehuda pada abad ke-10 SM di wilayah Palestina. Namun, sejarah mereka juga dipenuhi dengan berbagai ujian, termasuk kehancuran Baitul Maqdis oleh bangsa Babilonia pada tahun 586 SM dan pembuangan ke Babel. Setelah periode ini, mereka kembali ke Palestina atas izin Raja Persia, namun tetap menghadapi berbagai peperangan dan penjajahan dari bangsa lain seperti Yunani dan Romawi. Kehancuran besar terjadi pada tahun 70 M, ketika Romawi menghancurkan Yerusalem dan mengusir kaum Yahudi dari tanah tersebut, mengawali periode diaspora yang berlangsung selama berabad-abad (Ibn Kathir, 2003).

Dalam Islam, kaum Yahudi disebut sebagai Ahlul Kitab yang memiliki kitab suci sendiri, namun mereka juga dikritik karena penyimpangan terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi mereka. Al-Qur’an mencatat bahwa sebagian dari mereka melanggar perjanjian dengan Allah dan mengubah isi kitab-Nya: "Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mengatakan, 'Ini dari Allah,' (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat" (Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]: 79). Sejarah mencatat bahwa setelah masa diaspora, kaum Yahudi tersebar ke berbagai penjuru dunia, dan pada abad ke-20, mereka mulai kembali ke Palestina dengan gerakan Zionisme, yang menjadi cikal bakal konflik modern di tanah tersebut (Qutb, 2000).

  1. Awal Mula Dibentuknya Negara Israel

Pembentukan negara Israel pada tahun 1948 tidak terlepas dari sejarah panjang migrasi, kolonisasi, dan intervensi politik global. Sebelum abad ke-20, mayoritas wilayah Palestina dihuni oleh masyarakat Muslim dan Kristen, sementara komunitas Yahudi hanya merupakan sebagian kecil dari populasi. Namun, pada akhir abad ke-19, gerakan Zionisme mulai berkembang di Eropa dengan tujuan mendirikan negara khusus bagi kaum Yahudi di Palestina. Gerakan ini dipelopori oleh Theodor Herzl melalui bukunya Der Judenstaat (Negara Yahudi) pada tahun 1896, yang menyerukan pendirian negara Yahudi sebagai solusi atas diskriminasi yang mereka alami di Eropa (Herzl, 1896). Namun, klaim atas tanah Palestina menimbulkan pertentangan, karena wilayah tersebut telah lama dihuni oleh bangsa Arab yang memiliki hak historis dan hukum atas tanah tersebut.

Dukungan internasional terhadap pembentukan negara Israel semakin kuat setelah Perang Dunia I. Pada tahun 1917, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menyatakan dukungan terhadap pendirian "tanah air bagi orang-orang Yahudi" di Palestina. Kebijakan ini diambil ketika Palestina masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah, yang kemudian jatuh ke tangan Inggris setelah Perang Dunia I dan ditempatkan di bawah Mandat Inggris oleh Liga Bangsa-Bangsa (Al-Qur’an, Surah Al-Ma’idah [5]: 51). Imigrasi besar-besaran Yahudi ke Palestina meningkat drastis selama periode mandat ini, yang kemudian menimbulkan ketegangan dengan penduduk asli Palestina, menyebabkan berbagai pemberontakan dan bentrokan antara komunitas Arab dan Yahudi (Al-Tabari, 1990).

Setelah Perang Dunia II dan tragedi Holocaust yang menewaskan jutaan orang Yahudi di Eropa, tekanan internasional untuk mendirikan negara Israel semakin kuat. Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan Rencana Pembagian Palestina (UN Partition Plan), yang membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian, satu untuk kaum Yahudi dan satu untuk kaum Arab, dengan Yerusalem sebagai kota internasional. Keputusan ini ditolak oleh penduduk Arab Palestina, yang menganggapnya sebagai bentuk kolonialisme modern yang merampas hak-hak mereka. Namun, pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion secara sepihak mendeklarasikan berdirinya negara Israel, yang langsung diakui oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, tetapi mendapat perlawanan dari negara-negara Arab di sekitarnya (Pappé, 2006).

Dalam perspektif Islam, kepemilikan tanah bukanlah hak mutlak suatu kelompok etnis, melainkan ditentukan oleh keimanan dan keadilan. Al-Qur’an menegaskan: "Dan sungguh telah Kami tuliskan dalam Zabur setelah (tertulis) dalam Lauh Mahfuz, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh" (Al-Qur'an, Surah Al-Anbiya’ [21]: 105). Sejarah menunjukkan bahwa pendirian negara Israel dilakukan melalui proses kolonialisme dan pengusiran besar-besaran terhadap penduduk asli Palestina, yang hingga kini masih mengalami ketidakadilan. Konflik yang berlangsung sejak 1948 bukan hanya soal agama, tetapi juga perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan kembali hak mereka atas tanah air mereka yang telah diambil secara paksa oleh proyek kolonial Zionis (Qutb, 2000).

  1. Konflik Israel dan Palestina

Konflik Israel-Palestina merupakan salah satu konflik berkepanjangan yang terus berlangsung sejak pendirian negara Israel pada tahun 1948. Konflik ini berawal dari pengusiran besar-besaran penduduk asli Palestina yang dikenal dengan peristiwa Nakba (malapetaka), di mana lebih dari 750.000 rakyat Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka akibat agresi militer Zionis (Pappé, 2006). Peristiwa ini memicu kemarahan negara-negara Arab, yang kemudian berperang melawan Israel dalam Perang Arab-Israel 1948. Namun, Israel berhasil memperluas wilayahnya melebihi yang ditetapkan dalam Rencana Pembagian Palestina oleh PBB. Sejak saat itu, konflik terus berlanjut dengan serangkaian perang besar, termasuk Perang Enam Hari 1967 dan Perang Yom Kippur 1973, yang semakin memperburuk penderitaan rakyat Palestina.

Pada tahun 1967, Israel menduduki wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur dalam Perang Enam Hari. Pendudukan ini secara langsung melanggar hukum internasional dan menimbulkan gelombang perlawanan dari rakyat Palestina. Sejak saat itu, berbagai gerakan perlawanan seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Hamas muncul untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Namun, Israel terus melakukan ekspansi dengan membangun permukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang bertentangan dengan resolusi PBB. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka..." (Al-Qur'an, Surah Hud [11]: 113). Ayat ini menjadi pengingat bagi kaum Muslim untuk tidak mendukung kezaliman dan menegakkan keadilan, termasuk dalam konflik Palestina yang penuh dengan penindasan.

Upaya perdamaian telah dilakukan melalui berbagai perjanjian, seperti Perjanjian Oslo 1993 yang memberikan otonomi terbatas kepada Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Namun, Israel terus melakukan pelanggaran, termasuk pembunuhan warga sipil, blokade terhadap Jalur Gaza, serta penggusuran paksa di wilayah Palestina. Sejumlah insiden besar seperti Intifada pertama (1987-1993) dan Intifada kedua (2000-2005) menunjukkan perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel. Sementara itu, komunitas internasional terus menyerukan solusi dua negara, tetapi upaya ini selalu terbentur dengan kebijakan Israel yang menolak menghentikan pendudukan ilegalnya (Khalidi, 2020).

Hingga saat ini, konflik Israel-Palestina masih terus berlangsung, dengan penderitaan rakyat Palestina yang semakin parah akibat blokade dan serangan militer Israel. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa kezaliman tidak akan bertahan selamanya: "Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Dia memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak" (Al-Qur’an, Surah Ibrahim [14]: 42). Konflik ini bukan sekadar perang agama, tetapi juga perjuangan hak asasi manusia dan pembebasan dari penjajahan. Oleh karena itu, penting bagi dunia Islam dan komunitas internasional untuk terus mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam memperoleh hak- hak mereka yang telah dirampas sejak 1948.

  1. Kondisi Terkini Palestina, Maret 2025

Situasi di Palestina pada Maret 2025 mengalami eskalasi ketegangan yang signifikan akibat konflik yang terus berlanjut antara Israel dan Hamas. Setelah periode gencatan senjata yang dimulai pada akhir Januari, ketegangan kembali meningkat pada pertengahan Maret ketika Israel melancarkan serangan udara, darat, dan laut ke Jalur Gaza. Serangan ini diklaim sebagai respons terhadap penahanan warga Israel oleh Hamas, yang menyebabkan korban jiwa lebih dari 500 orang di pihak Palestina (El País, 2025). Sebagai tanggapan, Hamas meluncurkan serangan roket ke wilayah Israel, memperburuk situasi keamanan di kawasan tersebut.

Di tengah konflik yang memanas, upaya diplomatik untuk mencapai gencatan senjata kembali dilakukan. Amerika Serikat mengajukan proposal untuk memperpanjang gencatan senjata, memungkinkan negosiasi menuju penghentian permanen permusuhan. Namun, Israel meningkatkan serangannya dengan tujuan menekan Hamas agar membebaskan sandera dan menghentikan perlawanan. Sementara itu, Mesir mengusulkan rencana yang mencakup pembebasan sandera dan penarikan pasukan Israel dari Gaza (Reuters, 2025). Kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan keterbatasan bantuan dan tingginya jumlah korban sipil.

Pada awal Maret, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyambut baik rencana rekonstruksi Gaza yang disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) darurat Arab di Kairo, Mesir. Abbas menekankan pentingnya pelaksanaan rencana tersebut tanpa harus merelokasi warga Palestina di Gaza. Ia juga mengutuk langkah-langkah Israel yang mewujudkan kolonialisme pemukim di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang dapat mengancam realisasi solusi dua negara dan mematikan perjuangan Palestina (Elshinta, 2025).

Perdana Menteri Palestina, Mohammed Mustafa, dalam pertemuan luar biasa Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Arab Saudi, meminta agar rencana rekonstruksi Jalur Gaza yang disusun bersama Palestina dan Mesir diadopsi sebagai rencana bersama oleh negara-negara Arab dan Islam. Ia menekankan bahwa keberhasilan rencana rekonstruksi Gaza bergantung pada penghentian serangan Israel, kembalinya para pengungsi, penarikan pasukan Israel, pembukaan perbatasan, serta akses untuk bahan bangunan dan peralatan yang diperlukan, disertai dengan dukungan keuangan yang dijamin (Suara, 2025).

Secara keseluruhan, kondisi terkini di Palestina pada Maret 2025 ditandai oleh eskalasi konflik, upaya diplomatik yang kompleks, dan tantangan kemanusiaan yang mendesak. Situasi ini memerlukan perhatian dan tindakan segera dari komunitas internasional untuk mencegah krisis yang lebih dalam dan memastikan perlindungan bagi warga sipil yang terdampak.

Ditulis oleh Abdullah Abdurrahman Nur'Alim (Wakil Ketua PC Pemuda Persis Banjaran)

Daftar Pustaka

Al-Tabari. (1990). Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja). Kairo: Dar al- Ma'arif.

Bright, J. (2000). A History of Israel. Westminster John Knox Press.

El País. (2025, 21 Maret). Israel amenaza a Hamás con anexionar partes de Gaza si no libera a los rehenes. Diakses dari https://elpais.com/internacional/2025-03-21/israel-amenaza-a-hamas-con- anexionar-partes-de-gaza-si-no-libera-a-los-rehenes.html.

Elshinta. (2025, 5 Maret). Presiden Palestina sambut rencana rekonstruksi Gaza dalam KTT Arab. Diakses dari https://elshinta.com/news/365133/2025/03/05/presiden-palestina-sambut-rencana- rekonstruksi-gaza-dalam-ktt-arab.

Finkelstein, I., & Silberman, N. A. (2001). The Bible Unearthed: Archaeology’s New Vision of Ancient Israel and the Origin of Its Sacred Texts.

Gelvin, J. (2021). The Israel-Palestine Conflict: A History. Cambridge University Press.

Hammer, M. F., et al. (2000). "Jewish and Middle Eastern Non-Jewish Populations Share a Common Pool of Y-Chromosome Biallelic Haplotypes." Proceedings of the National Academy of Sciences, 97(12), 6769-6774.

Herzl, T. (1896). Der Judenstaat (Negara Yahudi). Leipzig: M. Breitenstein’s Verlags- Buchhandlung.

Ibn Kathir. (2003). Qasas Al-Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Tafsir QS. Al-Isra’: 4-7.

Khalidi, R. (2020). The Hundred Years' War on Palestine. New York: Metropolitan Books Morris, B. (2008). 1948: A History of the First Arab-Israeli War. Yale University Press.

Nebel, A., et al. (2001). "The Y Chromosome Pool of Jews as Part of the Genetic Landscape of the Middle East." American Journal of Human Genetics, 69(5), 1095-1112.

Pappé, I. (2006). The Ethnic Cleansing of Palestine. Oxford: Oneworld Publications.

Qutb, S. (2000). Fi Zhilal al-Qur'an (Di Bawah Naungan Al-Qur'an). Kairo: Dar Al-Shuruq. Maududi, A.A. (1999). Tafhim al-Qur'an. Lahore: Islamic Publications.

Redford, D. B. (1992). Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times. Princeton University Press.

Reuters. (2025, 21 Maret). Hamas studying US 'bridge' proposal on ceasefire as Israel escalates return to war. Diakses dari https://www.reuters.com/world/middle-east/israel-intensifying-gaza- strikes-press-hamas-into-freeing-hostages-defence-2025-03-21/.

Stern, M. (2001). The Jewish Diaspora in the Hellenistic and Roman Periods. Cambridge University Press.

Suara. (2025, 9 Maret). PM Palestina mendesak dunia Arab rencana rekonstruksi Gaza jadi prioritas bersama. Diakses dari https://www.suara.com/news/2025/03/09/032500/pm-palestina- mendesak-dunia-arab-rencana-rekonstruksi-gaza-jadi-prioritas-bersama.