Konsep, Batasan dan Kaidah Bid’ah
Saturday, 22 March 2025 Oleh Admin
- Latar Belakang
Ada perbedaan pendapat terkait dengan ta’rif bid’ah, perbedaan tersebut berpengaruh terhadap Batasan dan contoh-contohnya dalam fikih. Persoalan tersebut tidak terlepas dari perbedaan dalam pemahaman terhadap dalil-dalil bid’ah. Konsekuensi Selanjutnya berpengaruh dalam memberikan definisi dan Batasan, karena itu diperlukan tahqiq terkait pengertian dan Batasan yang komprehensif. Perbedaan tersebut berpengaruh terhadap kaidah-kaidah dan contoh-contohnya, apa yang dibid’ahkan dan apa yang tidak. Karena itu tulisan ini dibatasi dengan menjadi empat bagian. Pertama latar belakang masalah, kedua, pengertian bid’ah menurut para ulama, dalil dan perdebatannya. ketiga, tahqiq terkait pengertian dan batasan bid’ah, kritik serta perbedaan dengan maslahah mursalah. Keempat, kesimpulan pengertian bid’ah dan kaidah-kaidah turunannya.
-
Pengertian Bid’ah menurut para ulama dan Argumentasinya
Bid’ah secara Bahasa artinya
ابتداء الشيء وصنعُه لا عَنْ مِثال…أبْدعْتُ الشيءَ قولاً أو فِعلاً، إذا ابتدأتَه لا عن سابق مثال
merintis sesuatu dan membuatnya tanpa ada contoh. Aku berbuat sesuatu yang baru, baik perkataan maupun perbuatan, maksudnya merintis sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya (Mu’jam Maqayis al-lughah, 1/203)
Firman Allah yang menunjukan bahwa makna bid’ah adalah membuat atau menciptakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh :
بَدِيعُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِۖ وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ﴿١١٧﴾
(Allah) pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. (QS. Al-Baqarah[2]: 117)
Dari pengetian diatas secara sederhana dapat disimpulkan bahwa bid’ah secara Bahasa adalah sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun secara istilah syariat, para ulama terbagi kepada dua, yaitu golongan pertama, membagi hukum bid’ah, sedangkan yang kedua membagi bid’ah yang berpandangan semua bid’ah adalah sesat, penjelasan selengkapnya sebagai berikut :
Kelompok yang membagi hukum bid’ah
Bid’ah menurut kelompok yang kedua adalah segala perbuatan yang tidak diperintahkan pada zaman Rasulullah saw. Imam Izzudin Abdussalam memberikan pengertian :
فعل ما لم يعهد في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Perbuatan yang tidak diperintahkan pada masa Rasulullah Saw (Qawaid al- Ahkam, 2/113)”
Karena bid’ah dimaknai apa perbuatan yang tidak terjadi pada zaman Nabi Saw, maka selanjutnya bid’ah ada yang membaginya menjadi dua macam saja, sebagaimana pernyataan Imam Syafii sebagai berikut :
البِدعةُ بِدعتانِ: بدعةٌ مَحمودةٌ، وبِدعةٌ مَذمومةٌ، فما وَافَقَ السُّنَّةَ فهوَ محمودٌ، وما خالَفَ السُّنَّةَ فهوَ مذمومٌ
Bid’ah itu terbagi dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Maka apa yang sesuai dengan sunnah, maka terpuji sedangkan apa yang menyelisihi sunnah maka hal tersebut tercela (Ibn Rajab al-Hambali, Syarah Arbain al-Nawawiyah : 225, Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya, 4/97)
Adapula yang membaginya menjadi lima yaitu ada bid’ah yang wajib, sunat, mubah, makruh dan haram sebagaimana Imam Izzudin Abdussalam sebagai berikut :
وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة: فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة، وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة، وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة، وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة
Bid’ah terbagi menjadi bid’ah yang diwajibkan, diharamkan, disunatkan, dimakruhkan dan bid’ah yang dimubahkan. Dan metode untuk mengetahuinya ditinjau dari kaidah-kaidah syariah. Jika masuk dalam kaidah wajib, maka hukumnya wajib. Jika masuk dalam kaidah haram, maka hukumnya haram, jika masuk pada kaidah sunat, maka hukumnya sunat, jika masuk dalam kaidah yang makruh, maka hukumnya menjadi makruh. Jika masuk dalam kaidah mubah, maka hukumnya mubah (Qawaid al-Ahkam, 2/204)
Berikut adalah ulama-ulama kelompok yang membagi bid’ah selain imam syafii dan imam Izzudin Abdussalam, diantaranya Ibnu Jauzi, Abu Syamah, an-Nawawi, al-Aini, Ibnul Atsir, al-Qarafi, al-Hafiz Ibn Hajar, al-Suyuti dan lainnya (Ittiba’ la Ibtida’, 23).
Adapun yang menjadi metode istinbat kelompok ini sebagai berikut :
-
Ayat al-Quran
Perintah berbuat kebaikan secara luas
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱرْكَعُوا۟ وَٱسْجُدُوا۟ وَٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمْ وَٱفْعَلُوا۟ ٱلْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ۩ ﴿٧٧﴾
Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung. (QS. Al-Hajj[22]: 77)
-
Hadis Nabi dan Atsar Sahabat
-
Fadilah membuat sunnah yang baik
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً ، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً ، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ .
'barangsiapa dapat memberikan suri tauladan yang baik dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut dapat diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa memberikan suri tauladan yang buruk dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikit pun.' ' (HR. Muslim, 8/61 No. 1017)
-
Tidak diperintahkan dan dilarang ruang kreasi kebaikan
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا ، وَحَرَّمَ حُرُمَاتٍ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا ، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا ، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا .
'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian sia-siakan. Allah telah menetapkan beberapa larangan, maka janganlah kalian melanggarnya. Allah telah menetapkan batasan-batasan maka janganlah kalian melewatinya. Dan Allah tidak menyinggung banyak hal bukan karena lupa, maka janganlah kalian mencari-carinya'." (HR. ad-Daruquthni, 5/326 No. 4399)
-
Penambahan Redaksi doa dalam salat
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا ، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا ، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا ؟ قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ . قَالَ : عَجِبْتُ لَهَا ! فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ . قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ .
Dari Ibnu Umar dia berkata; "Ketika kami shalat bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba seseorang mengucapkan ALLAHU AKBAR KABIRAW WAL HAMDU LILLAHI KATSIIRAW WASUBHAANALLAHI BUKRATAN WA ASHIILAN (Maha Besar Allah, dan segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, dan Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang)." Lantas Rasulullah ﷺ bertanya: "Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?" Seorang sahabat menjawab; "Aku wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Sungguh aku sangat kagum dengan ucapan tadi, sebab pintu-pintu langit dibuka karena kalimat itu." Kata Ibnu Umar; "Maka aku tak pernah lagi meninggalkannya semenjak aku mendengar Rasulullah ﷺ mengucapkan hal itu." (HR. Muslim: 2/99, No. 601)
-
Menjadikan al-fatihah sebagai ruqyah
Rasulullah Saw bersabda kepada sahabat yang menjadikan bacaan surat al-fatihah sebagai ruqyah :
وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ أَصَبْتُمُ ، اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
"Apakah kamu tidak tahu bahwa itu adalah ruqyah? Dan kalian telah mendapatkan imbalan darinya, maka bagilah dan berilah bagian untukku." (HR. al-Bukhari, 7/133 No. 5749)
-
Penambahan redaksi doa pada I’tidal
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ: كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ". قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟". قَالَ: أَنَا ، قَالَ: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ .
dari Rifa'ah bin Rafi' Az Zuraqi berkata, Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi ﷺ. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan: 'sami'allahu LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya) '. Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca; 'RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah)'. Selesai shalat beliau bertanya: Siapa orang yang membaca kalimat tadi? Orang itu menjawab, Aku. Beliau bersabda: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut. (HR. al-Bukhari: 1/159, No. 799)
-
Membaca surat al-Ikhlas setiap rakat
Sahabat yang membaca surat al-ikhlas pada rakat pertama dan kedua, Rasulullah saw bersabda :
سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ . فَسَأَلُوهُ فَقَالَ: لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ ، وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللهَ يُحِبُّهُ .
'Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian?' Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, 'Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.' Spontan Nabi ﷺ bersabda: 'Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR. al-Bukhari, 9/115, No. 7375)
-
Tambahan redaksi dalam zikir talbiyah haji/umrah
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ تَلْبِيَةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ ، لَا شَرِيكَ لَكَ . قَالَ : وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ يَزِيدُ فِي تَلْبِيَتِهِ : لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ ، وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ .
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : أَهَلَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَذَكَرَ التَّلْبِيَةَ مِثْلَ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : وَالنَّاسُ يَزِيدُونَ ذَا الْمَعَارِجِ ، وَنَحْوَهُ مِنَ الْكَلَامِ ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْمَعُ ، فَلَا يَقُولُ لَهُمْ شَيْئًا .
dari Abdullah bin Umar bahwa talbiyah Rasulullah ﷺ adalah: "LABBAIKALLAHUMMA LABBAIK, LABBAIKA LAA SYARIIKALAKA LABBAIK, INNAL HAMDA WAN NI'MATA LAKA WAL MULKA LAA SYARIIKALAK (aku memenuhi seruanMu ya Allah, aku memenuhi seruanMu, tidak ada sekutu bagiMu, aku memenuhi seruanMu. Sesungguhnya segala puji dan kenikmatan, serta seluruh kerajaan adalah milikMu, tidak ada sekutu bagiMu). Nafi' berkata; dan Abdullah bin Umar menambahkan dalam talbiyah; LABBAIKA, LABBAIKA, LABBAIK, WA SA'DAIK, WAL KHAIRU BIYADAIK, WAR RAGHBU ILAIKA WAL 'AMALU (aku memenuhi seruanMu, aku memenuhi seruanMu, aku memenuhi seruanMu, dan dalam rangka untuk menyenangkanMu, segala kebaikan ada di tanganMu, harapan dan amalan tertuju kepadaMu).
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; dan orang-orang menambahkan kata; Dzal ma'arij, dan semisalnya. Sedang Nabi ﷺ mendengar dan tidak mengatakan sesuatu pun kepada mereka. (HR. Abu Daud, 2/98)
-
Sebaik-baiknya Bid’ah berdasarkan atsar Umar bin Khatab
حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ فَقَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Az Zubair dari Abdurrahman bin Abdul Al-Qari dia berkata; "Aku keluar bersama Umar bin Khathab ke masjid pada bulan Ramadhan. Ternyata orang-orang berpencar dalam beberapa kelompok. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat dengan diikuti jamaah. Umar berkata, "Demi Allah, sesungguhnya saya berpendapat, jika saya kumpulkan mereka dengan satu Qari', niscaya akan lebih utama." Akhirnya Umar pun memerintahkan agar mereka shalat bersama Ubay bin Ka'ab (sebagai imam). Abdurrahman berkata; "Aku keluar bersama Umar bin Khathab pada hari yang lain, sedang orang-orang telah shalat dengan satu Qari' mereka. Umar berkata; "Sebaik-baik bid'ah adalah ini. Waktu yang kalian gunakan untuk tidur di dalamnya (maksudnya akhir malam) adalah lebih baik daripada yang kalian pergunakan untuk shalat (sekarang ini). Saat itu orang-orang shalat pada awal malam." (HR. Malik: 231)
Kelompok yang membatasi semua bid’ah sesat
Bid’ah bagi kelompok yang kedua bawa secara istilah syariat bid’ah itu semuanya sesat, maksudnya adalah bid’ah dalam agama atau syariat. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Ibn Rajab, Imam Syatibi dan lainnya. kami batasi dari imam Ibn Rajab dan Imam Syatibi saja sebagai perwakilan.
Pertama menurut imam Ibn Rajab al-Hanbali :
فكل من أحدث شيئًا ونسبه إلى الدين ، ولم يكن له أصل من الدين يرجع إليه ؛ فهو ضلالة ، والدين منه بريء "
Ibnu Rajab berkata : Maka setiap yang membuat suatu perbuatan yang baru dan dihubungkan dengan agama akan tetapi tidak ada rujukan asalnya dari agama, maka perbautan tersebut adalah kesesasan dan agama berlepas diri dari perbuatan tersebut (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam 2/128)
Kedua, menurut imam as-Syatibi
Imam Syatibi memberi dua pengertian yaitu
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’at, yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26)
Adapun dalil kelompok yang kedua ini adalah sebagai berikut :
-
Ayat al-Quran
-
Perintah mengikuti syariat dan menjauhi jalan bid’ah
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٥٣﴾
Dan sungguh, inilah jalanKu yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An'am[6]: 153)
Ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban untuk mengikuti syariat tentunya yang benar-benar otentik berdasarkan al-Quran dan as-sunnah. Sebaliknya melarang mengikuti jalan yang lain, tentunya yang tidak berdasar al-Quran dan al-sunnah dimana menjadikan semata akal, perasaan, intuisi adat kebiasaan dan lainnya sebagai jalan untuk menempuh syariat.
-
Perintah ittiba kepada Rasul Saw
…وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ ﴿٧﴾
…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukumanNya. (QS. Al-Hasyr[59]: 7)
Dalam kaitan dengan syariat, maka cukuplah syariat yang dibawa oleh Nabi Saw untuk menjadi pegangan, dan apa yang dilarang, maka tinggalkan. Tidak memerlukan yang baru, pintu penetapannya telah tertutup.
-
Kesempurnaan syariat Islam
…ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًاۚ
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. (QS. Al-Ma'idah[5]: 3)
Ayat tersebut merupakan dalil tentang kesempurnaan ajaran Islam dan tertutupnya pintu tasyri’ karena itu tidak ada tempat kreasi dalam akidah dan ibadah.
-
Larangan menyelisihi syariat
…فَلْيَحْذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٦٣﴾
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah RasulNya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur[24]: 63)
-
Hadis Nabi Saw
-
Penegasan bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat
…فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Muslim, 3/11 No. 867)
…إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (al-Quran), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka'. (HR. an-Nasai, 1/338 No. 1577)
-
Tertolaknya amalan bid’ah dalam syariat
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak. Diriwayatkan pula oleh Abdullah bin Ja'far Al Makhramiy dan 'Abdul Wahid bin Abu 'Aun dari Sa'ad bin Ibrahim. (HR. al-Bukhari, 3/184 No. 2697)
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa mengamalkan suaru perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." (HR. Muslim, 5/132 No. 1718)
-
Penegasan bahwa berlebihan dalam beragama adalah termasuk bid’ah
لَكِنِّي أَنَا أَنَامُ وَأُصَلِّي وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ فَمَنْ اقْتَدَى بِي فَهُوَ مِنِّي وَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى
"Tapi aku kadang tidur dan kadang shalat (malam), kadang puasa dan kadang berbuka, maka barangsiapa yang mengikutiku maka ia termasuk golonganku dan barangsiapa yang membenci sunnahku berarti tidak termasuk golonganku, setiap amal itu ada saat-saat rajinnya dan ada saat jedanya, maka barangsiapa yang jedanya menuju bid'ah maka ia sesat dan barangsiapa jedanya menuju sunnah maka ia mendapat petunjuk." (HR. Ahmad No. 23957)
-
Hukuman Pelaku bid’ah dijauhkan dari Nabi Saw diakhirat
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ لَيُرْفَعَنَّ إِلَيَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لِأُنَاوِلَهُمْ اخْتُلِجُوا دُونِي فَأَقُولُ أَيْ رَبِّ أَصْحَابِي يَقُولُ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
"Aku adalah manusia pertama-tama di antara kalian yang menuju telaga, lantas diperlihatkan padaku beberapa orang di antara kalian, hingga jika aku ingin menggandeng mereka, tiba-tiba mereka ditangkap dan dijauhkan dariku, sehingga aku berteriak-teriak 'Ya Rabbi, itu sahabatku, ya Rabbi, itu sahabatku!' Allah menjawab; kamu tidak tahu apa yang perbuat sepeninggalmu! '" (HR. al-Bukhari, 9/46 No. 7049)
-
Pelaku bid’ah mendapatkan dosa yang mengikuti bid’ahnya
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
"Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah ditinggalkan sepeninggalku, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun, dan barangsiapa membuat kebid'ahan Allah dan RasulNya tidak meridhainya, maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun." (HR. at-Tirmidzi, 4/409 No. 2677)
Ayat dan hadis-hadis tersebut secara dalalah saling mendukung satu sama lain menegaskan bahwa semua bid’ah dalam syariat adalah sesat.
Pandangan Muhaqqiqin
Para muhaqqiqin semisal Ibn Rajab berpandangan bahwa apa yang dimaksud dengan pembagian bid’ah mahmudah dan mazmumah Imam Syafii adalah sebagai berikut :
ومُرادُ الشافعيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ ما ذَكَرْنَاهُ مِنْ قبلُ: أنَّ البِدعةَ الْمَذمومةَ ما ليسَ لها أصلٌ مِن الشريعةِ يُرْجَعُ إليهِ، وهيَ البدعةُ في إطلاقِ الشرعِ. وأمَّا البِدعةُ المحمودةُ فما وافَقَ السُّنَّةَ، يعني: ما كانَ لها أصلٌ مِن السُّنَّةِ يُرْجَعُ إليهِ، وإنَّما هيَ بِدعةٌ لُغَةً لا شَرْعًا؛ لِمُوَافَقَتِها السُّنَّةَ.
Maksud dari perkataan imam syafii tersebut adalah bahwa bid’ah yang tercel aitu adalah apa yang tidak ada asal dalam syariat dimana hal tersebut dikembalikan, dan bid’ah tersebut adalah secara Mutlaq dalam syariat. Adapun yang dimaksud dengan bid’ah yang terpuji adalah apa yang yang sesuai dengan sunnah yaitu apa yang ada asal sunnahnya dimana kembalikan kepadanya. Dan bid’ah tersebut adalah secara Bahasa saja bukan dalam istilah syara’ karena bersesuaian dengan sunnah (Ibn Rajab al-Hambali, Syarah Arbain al-Nawawiyah : 225)
Dengan demikian menurut pandangan Ibn Rajab kelompok pertama dan kedua tidak bertentangan, hanya khilaf lafzi saja, maksudnya sama. Maksud bid’ah mahmudah adalah yang ada asal syariatnya, dimana oleh kelompok kedua disebut dengan bid’ah secara majazi atau Bahasa saja atau maslahah mursalah. Sedangkan yang mazmumah yang tidak ada asal syariatnya, atau apa yang disebut oleh kelompok kedua sebagai bid’ah secara syar’i. Jika benar demikian, maka tidak menjadi persoalan.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian kalangan ulama yang berpandangan bahwa perbedaan kelompok pertama dan kedua adalah persoalan substansi, bukan perbedaan lafaznya saja. Jika demikian, maka karena perbedaan dari sisi usul, akan banyak persoalan fikih terkait dengan masalah ini sebagai turunannya. Sehingga memerlukan pembahasan mendalam serta tahqiq, maka diantara dua pengetian bid’ah tersebut yang lebih tepat dan mendekati kebenaran berdasarkan penelitian dalil-dalil dan dalalahnya.
-
Tahqiq Pengertian, Batasan, kritik terkait bid’ah serta perbedaannya dengan maslahah mursalah
Dari berbagai pendapat para ulama diatas serta penelitian terhadap dalil-dalil, maka kami menyimpulkan bahwa bid’ah secara istilah syariat sebagai berikut :
الطَرِيْقَةُ المُحْدَثَةُ فِيْ الدِّيْنِ يُقْصَدُ بِهَا تَقَرُّبًا إِلَى اللّهِ تعالى و لَيْسَ لَهَا دَلِيْلٌ فِي الشَّرْعِ بِطَرِيْقٍ خَاصٍ وَلَا عَامٍ
“Cara baru yang dibuat-buat dalam agama tujuannya untuk beribadah kepada Allah dimana tidak ada dalil secara syar’i baik secara khusus maupun umum”
Dalam ilmu manthiq ada pemahasan terkait dengan ta’rif. Ta’rif secara Bahasa artinya memperkenalkan. Ta’rif adalah Teknik menerangkan baik lisan atau tulsan untuk memperoleh pemahaman dengan batas yang jelas. Secara sederhana ta’rif adalah definisi atau perbatasan.
Ta’rif sangat penting, karena menjadi dasar dalam pembentukan qadiyah atau pernyataan. Seandainya ta’rifnya tidak jelas, maka pernyataanpun akan bermasalah. Apalagi jika jika pernyataan yang mengandung ta’rif yang tidak jelas tersebut digunakan sebagai dasar penyimpulan dengan pernyataan yang lain, akan lebih bermasalah lagi.
Setidaknya ada dua syarat ta’rif, yaitu jami mani’. Jami’ artinya menyeluruh terhadap satuan didalamnya. Mani’ maksudnya meniadakan apa yang bukan bagiannya. Konsep atau cara baru dalam syariat merupakan jinas qarib dari bid’ah. Cara baru adakalanya dalam syariat adakalanya diluar syariat. Jika bukan konsep atau cara baru, maka berarti berdasarkan nash, tentu bukan bid’ah, begitu juga konsep atau cara baru, tapi diluar syariat, maka bukan pula termasuk bid’ah. Selanjutnya ada dua tambahan mafhum yaitu, pertama menyerupai syariat atau ibadah, artinya jika bukan menyerupai syariat/ibadah maka tidak termasuk bid’ah. Kedua, tidak ada dalil syariatnya baik secara umum atau khusus, keduanya menjadi fashl qarib bagi Batasan bid’ah. Artinya jika seandainya ada dalil umum atau khusus, maka tidak termasuk dalam kategori bid’ah.
Bagaimana dengan ungkapan bid’ah Riwayat Umar bin Khattab tarawih dan Ibn Umar tentang salat dluha ? jika dimasukan dalam ta’rif diatas, maka tidak termasuk dalam terminologi bid’ah. Karena keduanya bukan perkara baru, tapi ada dalil secara syariatnya, hanya jarang atau tidak dilaksanakan karena alasan tertentu, namun pernah diperintahkan berdasarkan perkataan atau perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang lain. Karena itu bisa dimasukan dalam kategori bid’ah secara Bahasa saja, yang artinya sesuatu atau cara baru, maksudnya baru dilaksanakan kembali, bukan baru dalam arti bid’ah secara istilah.
Analisis Ushulfiqh
Sebetulnya para ulama yang berbeda pendapat, sepakat bahwa makna kullu dalam hadis bid’ah adalah tidaklah secara umum berlaku dalam keumumannya atau am yuradi bi am, sehingga bermakna larangan bid’ah berlaku baik dalam seluruh segi kehidupan baik dalam masalah agama ataupun diluar agama, Sehingga bermakna semua yang baru itu adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat. Karena pemahaman seperti ini tentunya bertentangan dengan akal, karena agama tidak mungkin mengharamkan segaka sesuatu yang baru dalam hal duniawi. Kedua, secara istiqra ditemukan dalil-dalil lain yang mengkhususkan maksud daripada hadis tentang keumuman tersebut.
Hanya para ulama berbeda pendapat tentang qayyid atau mukhashisnya. Menurut kami yang paling tepat adalah dimaknai bahwa bid’ah dalam agama.
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak. (HR. al-Bukhari: 2499)
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa mengamalkan suaru perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." (HR. Muslim: 3243)
Berdasarkan kedua hadis diatas, maka tidak setiap yang baru adalah bid’ah tapi bid’ah yang terlarang dalam hadis tersebut adalah bahwa setiap konsep atau cara baru dalam agama yang dibuat sebagai ibadah dimana tidak ada asal syariatnya, baik secara umum atau khusus.
Adapun bantahan secara umum kepada kelompok pertama sebagai berikut :
-
Berdasarkan istiqra dalil-dalil larangan berbuat bid’ah, maka sampai kepada kesimpulan bahwa bid’ah dalam syariat adalah haram. Seandainya tidak disepakati, maka yang berlaku adalah sebaliknya asal bid’ah adalah boleh tentu akan bertabrakan dengan banyak nash, pilihannya hanya dua tidak ada yang lain. Ayat, hadis atau atsar yang seolah menunjukan kepada adanya bid’ah yang dibolehkan dalam syariat, mesti difahami dalam konteks bid’ah secara Bahasa, dalam konteks maslahah mursalah atau sebetulnya jika diteliti lebih lanjut termasuk kepada dalil secara umum, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah secara syar’i. Misalnya kasus makna bid’ah pernyataan Umar bin Khattab dalam salat tawarih dalam satu imam, maksudnya menghidupkan sunnah yang sebelumnya ditinggalkan sehingga masih dalam lingkup dalil nash, sehingga makna bid’ah tersebut bukan haqiqi tapi majazi atau secara Bahasa saja.
-
Keliru dari segi dalalah dalil, misalnya hadis “kullu bid’atin dhalalah” kemudian di taqyid dengan hadis “man sanna sunnatan hasanatan” sehingga berkesimpulan tidak semua bid’ah adalah dhalalah. Padahal keduanya merupakan dua hal yang berbeda, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai mukhassis. Maksud hadis “kullu bid’atin dhalalah, yang menjadi taqyidnya adalah hadis “man ahdatsa fi amrina” dan “man ‘amila amalan laisa ‘alaihi amruna” sehingga bermakna semua bid’ah dalam syariat yang bertujuan untuk ibadah.
-
Maksud hadis “man sanna sunnatan hasanatan” pertama, bukan sunnah dalam arti isilah syar’I, karena dalam masalah syariat kita hanya diperintah untuk ittiba kepada Allah dan Rasul-Nya, sekiranya selain Allah dan Rasulnya diperbolehkan untuk membuat sunnah, maka agama akan kacau. Kedua, dari sisi susunan kalimat menggunakan “man sanna” bukan “manibtada’a” sehingga maksudnya menjalan sunnah yang sudah ada. Ketiga, asbab al-wurud hadis tersebut adalah tentang seorang sahabat yang mengawali untuk berinfaq, kemudian diikuti oleh sahabat lainnya. sehingga bermakna menghidupkan atau menjalankan sunnah biasanya baru dikerjakan atau lama ditinggalkan padahal masih tetap dalam dalil umum. Keempat, bisa juga dimaknai dalam arti sunnah dalam arti keduniawian atau menjadi wasail bagi ibadah dan maqashid syariah (maslahah mursalah) berdasarkan hadis
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ .
'Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.' (HR. Muslim, 7/95 No. 2363)
-
Perbuatan sahabat tersebut terjadi pada zaman pensyariatan sebelum agama menjadi sempurna (hala al-Tasyri’). Bentuk pensyariatan tersebut dalam perintah dan larangan dengan perkataan, perbuatan atau taqrir Rasulullah Saw.
-
Para sahabat terkadang melaksanakan perintah atau menjauhi larangan Rasulullah Saw dengan berijtihad pada yang belum jelas nash atau rinciannya, bisa jadi ijtihad tersebut tepat bisa jadi tidak. Ijtihad tersebut bukanlah hujjah selama tidak ditaqrir oleh Rasulullah saw.
-
Para sahabat terkadang berijtihad dengan tetap berpegang kepada nash atau ada asal syariatnya baik secara umum atau khusus. Sebaliknya para sahabat tidak mungkin berbuat bid’ah dengan membuat amalan yang tidak ada sama sekali sandaran syariatnya. Sebagian sahabat merupakan ahlul ijtihad, sehingga ketika berbuat sesuatu yang baru, maka dipastikan ada asal syariatnya
Karakteristik dan Batasan Bid’ah
Berdasarkan ta’rif terkait dengan bid’ah, maka setidaknya ada beberapa Batasan terkait dengan karakteristik bid’ah, penjelasannya sebagai berikut :
-
Sesuatu yang baru atau dibuat-buat
Ciri tersebut berasal dari pengertian secara Bahasa dimana pengertian bid’ah adalah sesuatu yang baru. Hanya kebaruan tersebut, dalam analisis manthiq, kebaruan menjadi jinas bagi pengertian bid’ah. Manusia adalah hewan yang berpikir, dalam konteks ini, maka posisi kebaruan dari bid’ah sama dengan hewan dalam pengertian manusia. Disamping itu kebaruan tersebut berasal dari kalimat “barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru”. Jika pengertiannya sampai disini, maka pengertian bid’ah menjadi luas, semua sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya dalam agama maupun keduniawian.
-
Kebaruan tersebut dibatasi dalam perkara agama atau syariat
Ciri tersebut didapat dari kalimat “apa yang tidak kami perintahkan” sehingga sesuatu yang baru tersebut dibatasi pada kebaruan amalan yang tidak diperintahkan dalam agama. Terkait dengan otoritas syariat adakalanya terkait dengan ibadah secara khusus, adakalanya dalam masalah muamalah. Adapun terkait dengan ibadah secara khusus maka asalnya adalah haram atau batal, sehingga ada dalil yang memerintahkan. Begitu juga dalam persoalan akidah, kaidahnya sebagaimana dalam ibadah, mesti berdasarkan dalil yang yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun terkait dengan muamalah, maka asalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang melarang. Terkait dengan muamalah adakalanya didalamnya menjadi maqashid bagi ibadah. Maqashid tersebut mesti berdasarkan dalil. Seandainya menetapkan maqashid tersebut tanpa dalil, maka bisa dikategorikan sebagai bid’ah. Ibadah termasuk dalam maqashid syariah bagian hifz al-Din.
-
Bermaksud beribadah kepada Allah
Ciri ini sebetulnya pembatasan makna dari yang kedua, dimana perbedaanya jika yang kedua kaitan dengan pengkhususan dalam masalah agama, Adapun ciri yang ketiga dari sudut pandang motif subjek pembuat bid’ah dianggap perbuatan baru tersebut bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah atau tata cara beribadah (al-maqashid) bukan sebagai semata media (al-wasail). Disamping itu faktor pembeda adalah dari sisi tujuan dimana jika semata wasilah, maka yang menjadi pertimbangan adalah kemaslahatan, Adapun bid’ah, perbuatan baru tersebut bertujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Ibadah mahdah terdiri dari dua macam yaitu pertama secara asal cara beribadah tersebut merupakan ibadah itu sendiri. Sedangkan yang kedua, terkait dengan sifat dari cara beribadah itu sendiri misalnya tata cara, waktu, tempat dan lainnya. kemudian ada ibadah sebagai tujuan dan wasilah kepada ibadah. Wasilah kepada ibadah dibagi dua, pertama ada wasilah yang merupakan ibadah juga, adapula wasilah hanya sebagai media saja, bukan sebagai ibadah. Adapun yang menjadi objek daripada bid’ah adalah pembaruan dalam ibadah dan wasilah yang ditetapkan sebagai ibadah oleh nash. Adapun semata wasilah untuk ibadah atau wasilah maqashid syariah, maka termasuk dalam kategori maslahah mursalah, bukan bid’ah. Ibadah disini terbagi menjadi lima, yaitu ibadah I’tiqadiyah, qolbiyah, qouliyah, badaniyah dan ibadah Maliyah.
-
Tidak ada sama sekali dalil syariat baik secara umum atau khusus
Penyandaran perbuatan baru dalam agama tersebut adakalanya berdasarkan dalil khusus, adakalanya dalil umum. Adapun dalam kasus bid’ah tidak ada sama sekali penyandaran kepada teks dalil baik secara umum maupun khusus. Adapun terkait dengan penyandaran amalan terhadap hadis dhaif, maka tentu tertolak untuk dijadikan sebagai hujjah, namun ada tingkatan dalam hadis dhaif yaitu ringan, berat dan palsu. Adapun untuk dhaif ringan, maka cukup dikatakan sebagai kesalahan saja. Karena secara kemungkinan masih memiliki nisbat kepada Nabi saw walaupun dibawah hasan. Namun untuk amalan yang didasarkan kepada dhaif berat dan maudlu, maka sangat kecil kemungkinan nisbatnya bahkan jika maudlu, maka dipastikan bukan dari Rasul Saw, maka dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa amalan yang berdasarkan hadis dhaif berat dan maudlu, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Kecuali ada qarinah dalil lain, maka bisa saja hadis berdasarkan hadis dhaif ringanpun dikatakan sebagai bid’ah.
Begitu pula dari sisi dalalah, jika seandainya dalalahnya qath’i, maka dapat dipastikan jika berbeda maka dimasukan kepada bid’ah. Namun seandainya dalam konteks dzanni secara dalalah, maka yang lebih lemah cukup dikatakan sebagai kesalahan saja, tidak menjadi bid’ah. Namun seandainya ada qarinah dalil lain yang menguatkan kebid’ahannya, maka walaupun perkara dzanni secara dalalah dapat diputuskan sebagai bid’ah.
Dalam kasus ungkapan bid’ah dalam atsar Umar bin Khattab, sesungguhnya tidak termasuk dalam bid’ah secara istilah, karena masih berdasarkan dalil dari Nabi Saw. Sehingga maksud istilah bid’ah tersebut adalah secara majazi atau Bahasa saja, begitu juga dengan istilah bid’ah Ibnu Umar terkait salat dluha, maksudnya sama sebagaimana Umar bin Khattab.
Persamaan dan perbedaan maslahah mursalah dan bid’ah
Sebagian kalangan masih bingung membedakan antara bid’ah dan maslahah mursalah, Karena keduanya ada titik persamaan. Adapun Persamaan tersebut diantaranya bid’ah dan maslahah mursalah sama-sama perbuatan baru dan tidak ada dalil yang memerintahkan. Sebab itu jika difahami perbedaan diantara keduanya, maka akan jelas dan dapat membedakan mana yang termasuk bid’ah dan mana yang termasuk maslahah mursalah. Adapun perbedaan keduanya adalah sebagai berikut :
No |
Bid’ah |
Maslahah Mursalah |
---|---|---|
1. |
Perbuatan baru dalam agama |
Perbuatan baru dalam duniawi |
2. |
Sifatnya ta’abudi, ghair ma’qul al-ma’na |
Sifatnya ta’aquli atau ma’qul al-ma’na berdasarkan maslahat |
3. |
Dianggap sebagai ibadah atau syariat |
Dianggap sebagai wasilah/perantara ibadah atau maqashid syariah |
4. |
Bertentangan dengan nash |
Tidak bertentangan dengan nash |
5. |
Berdampak negative pada agama dan masyarakat |
Berdampak positif pada agama dan masyarakat |
Catatan terkait dengan wasilah dalam ibadah terbagi dua, pertama wasilah yang secara zatnya adalah ibadah akan tetapi pada sisi yang lain menjadi wasilah bagi ibadah yang lain misalnya wudlu. Adapun yang kedua, secara hakikat bukan sebagai ibadah, menjadi wasilah bagi ibadah atau maqashid syariah. Yang dimaksud dengan maslahah mursalah adalah kategori yang kedua. Adapun yang pertama walaupun jadi wasail namun ditetapkan oleh nash sebagai ibadah, maka bukan sebagai maslahah mursalah, tapi bagian dari ibadah.
-
Kesimpulan
Dari latar belakang dan pembahasan, maka kami berkesimpulan :
-
Bid’ah adalah Cara baru yang dibuat-buat dalam agama tujuannya untuk beribadah kepada Allah dimana tidak ada asal syariat baik secara umum ataupun khusus;
-
Objek dari Bid’ah adalah masalah Akidah dan Ibadah;
-
Kaidah-kaidah tentang bid’ah sebagai turunan dari istinbat dalil-dalil dan ta’rif tentang bid’ah sebagai berikut :
-
Akidah atau ibadah yang ditetapkan semata-mata didasarkan pikiran, perasaaan, intuisi, ilham, budaya, mimpi, tata cara agama dan lainnya, tidak berdasarkan dalil sama sekali;
-
Akidah atau Ibadah yang ditetapkan berdasarkan dalil yang dhaif berat atau maudlu;
-
Akidah atau Ibadah yang menyelisihi atau bertentangan dengan dalil yang qatht’i secara dalalah;
-
Ibadah yang ditetapkan berdasarkan mengkhususkan yang umum atau membatasi yang mutlak baik kaifiat, bentuk, waktu, tempat, atau bilangan tanpa dalil;
-
Ibadah yang ditetapkan berdasarkan segala pengubahan dalam baik dengan cara penambahan atau pengurangan dalam kaifiat, bentuk, waktu, tempat, atau bilangan yang telah ditetapkan oleh syariat tanpa dalil;
-
Ibadah yang ditetapkan berdasarkan paketan ibadah-ibadah yang disyariatkan menjadi satu rangkaian tak terpisahkan sehingga menjadi syariat khusus dengan waktu dan tempat yang khusus;
-
Ibadah yang ditetapkan berdasarkan sikap memaksakan diri dan bermudah-mudahan dalam beragama;
-
-
Menerapkan prinsip sad al-dzariah yaitu meninggalkan apa yang diragukan kesunnahannya lebih baik daripada jatuh kepada yang dikhawatirkan kebid’ahannya.
Ditulis oleh: Ginanjar Nugraha, M.Sy
Disampaikan pada Kuliah Shubuh Ramadhan di PJ Pemuda Persis Sirnagalih pada 9 Maret 2025
Cari Berita
Berita Populer
Suksesnya Kegiatan CraftPreuneur dalam Mengembangkan Kreativitas dan Bisnis di Pemudi Persis Banjaran
PC Pemudi Persis Banjaran selenggarakan Pra Ma'ruf
PC Pemuda Persis Banjaran inisiasi Program Mubahatsah
Kajian Populer
Sejarah Bani Israil Dan Konflik Palestina- Israel Tinjauan Historis Dan Akademis
Seminar Pendidikan PC Persis Banjaran 2025 - Ust. H. Ucu Najmudin, M.Pd
Bakar Semangat Jihadmu!