Aturan Perang dalam Islam dan Konvensi Jenewa: Hikmah Perang Badar di Bulan Ramadhan dalam Perspektif Politik

Monday, 17 March 2025 Oleh Admin
Aturan Perang dalam Islam dan Konvensi Jenewa: Hikmah Perang Badar di Bulan Ramadhan dalam Perspektif Politik
Bagikan

Perang sering kali dianggap sebagai hal yang brutal dan penuh kekacauan. Namun, baik dalam Islam maupun hukum internasional, ada aturan ketat yang mengatur bagaimana perang seharusnya dilakukan. Menariknya, aturan perang yang diterapkan Rasulullah ﷺ lebih dari 1.400 tahun yang lalu ternyata memiliki banyak kesamaan dengan Konvensi Jenewa yang baru dirumuskan pada abad ke-20. Mari kita lihat bagaimana kedua sistem ini memiliki prinsip-prinsip yang selaras dalam melindungi kemanusiaan di tengah konflik serta bagaimana muatan politik memengaruhi implementasinya.

Sejarah Konvensi Jenewa dan Pengaruhnya dalam Hukum Positif dan Politik Global

Konvensi Jenewa pertama kali disusun pada tahun 1864 oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dengan tujuan melindungi tentara yang terluka dalam pertempuran. Seiring waktu, aturan ini diperluas untuk mencakup perlindungan terhadap warga sipil, tawanan perang, dan larangan penggunaan metode perang yang tidak manusiawi. Hingga kini, Konvensi Jenewa telah mengalami beberapa revisi, dengan revisi terbesar dilakukan pada tahun 1949 setelah Perang Dunia II.

Konvensi Jenewa terdiri dari empat perjanjian utama:

  1. Konvensi Jenewa I (1949) – Perlindungan bagi tentara yang terluka dan sakit di medan perang.
  2. Konvensi Jenewa II (1949) – Perlindungan bagi tentara yang terluka, sakit, dan korban kapal karam dalam konflik bersenjata laut.
  3. Konvensi Jenewa III (1949) – Perlindungan bagi tawanan perang, termasuk hak mereka untuk diperlakukan dengan manusiawi.
  4. Konvensi Jenewa IV (1949) – Perlindungan bagi penduduk sipil di wilayah konflik.

Dalam hukum positif, Konvensi Jenewa menjadi dasar bagi banyak aturan hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional yang diterapkan dalam berbagai konflik modern. Namun, implementasi Konvensi ini sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik global. Negara-negara besar kerap menggunakan hukum humaniter internasional sebagai alat diplomasi atau bahkan propaganda politik, dengan menekan negara lain atas nama hak asasi manusia, tetapi pada saat yang sama bisa saja melanggar prinsip-prinsip tersebut dalam kepentingan politik mereka sendiri.

Perang Badar: Kepentingan Politik dalam Konteks Islam

Perang Badar yang terjadi pada bulan Ramadan tahun 2 Hijriah bukan sekadar pertempuran fisik antara kaum Muslimin dan Quraisy, tetapi juga memiliki dimensi politik yang sangat kuat. Sebelum perang ini, kaum Muslimin di Madinah masih dianggap sebagai kelompok kecil yang tidak memiliki pengaruh politik signifikan. Kemenangan dalam Perang Badar tidak hanya membuktikan kekuatan Islam secara militer, tetapi juga meningkatkan legitimasi politik Rasulullah ﷺ di mata kabilah-kabilah Arab lainnya.

Selain itu, strategi politik Rasulullah ﷺ dalam memperlakukan tawanan perang dengan baik juga memiliki dampak diplomasi jangka panjang. Dengan membebaskan tawanan dengan syarat tertentu, seperti mengajarkan membaca dan menulis, Rasulullah tidak hanya menunjukkan kebijaksanaan dan keadilan, tetapi juga membangun jaringan politik dengan individu-individu berpengaruh di Makkah.

Kaitan Aturan Perang Islam, Konvensi Jenewa, dan Kepentingan Politik Global

  1. Perlindungan Warga Sipil dan Narasi Politik
    Rasulullah ﷺ secara tegas melarang pasukannya untuk membunuh orang yang tidak terlibat dalam pertempuran. Hal ini sejalan dengan Pasal 51 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa, yang melarang serangan terhadap penduduk sipil. Namun, dalam politik global modern, konsep perlindungan warga sipil sering digunakan secara selektif. Beberapa negara besar menggunakan narasi hak asasi manusia sebagai alasan untuk melakukan intervensi militer di negara lain, tetapi di saat yang sama tidak menegakkan prinsip yang sama dalam kebijakan domestik atau sekutunya.
  2. Larangan Penyiksaan dan Kepentingan Politik Internasional
    Rasulullah ﷺ melarang penyiksaan terhadap musuh, sebagaimana yang juga diatur dalam Pasal 17 Konvensi Jenewa III, yang melarang penyiksaan terhadap tawanan perang. Namun, praktik penyiksaan masih terjadi di berbagai konflik, dan sering kali negara-negara adidaya menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh sekutu mereka. Politik global memperlihatkan bahwa penerapan aturan ini tidak selalu didasarkan pada moralitas, melainkan pada kepentingan strategis negara tertentu.
  3. Tawanan Perang sebagai Alat Negosiasi Politik
    Perang Badar menunjukkan bagaimana Rasulullah ﷺ menggunakan pendekatan politik dalam memperlakukan tawanan perang. Tawanan tidak hanya dianggap sebagai musuh, tetapi juga sebagai sumber potensi aliansi atau sarana negosiasi di masa depan. Dalam politik modern, perlakuan terhadap tawanan perang juga sering kali memiliki dimensi strategis. Sebagian negara menggunakan tawanan sebagai alat tawar-menawar dalam perundingan diplomatik atau pertukaran politik, meskipun Pasal 118 Konvensi Jenewa III menetapkan bahwa tawanan perang harus segera dibebaskan setelah konflik berakhir.
  4. Perang sebagai Alat Pertahanan atau Ekspansi Politik?
    Islam menegaskan bahwa perang hanya boleh dilakukan untuk membela diri, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 190). Konvensi Jenewa dan Piagam PBB juga menyatakan bahwa perang hanya sah dilakukan untuk membela diri. Namun, dalam praktik politik internasional, banyak negara menggunakan dalih pertahanan diri untuk melakukan agresi militer. Contoh nyata adalah bagaimana beberapa negara besar melakukan intervensi militer dengan alasan keamanan nasional, padahal ada kepentingan ekonomi dan geopolitik yang lebih besar di baliknya.

Kesimpulan

Meskipun Konvensi Jenewa baru dirumuskan pada abad ke-20, prinsip-prinsipnya sudah diterapkan dalam Islam sejak zaman Rasulullah ﷺ. Dari perlindungan warga sipil, larangan penyiksaan, perlakuan baik terhadap tawanan, hingga larangan merusak lingkungan, Islam telah lebih dulu menetapkan standar etika perang yang sangat manusiawi. Namun, dalam praktik politik global, penerapan hukum perang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara besar.

Perang Badar yang terjadi di bulan Ramadan menjadi bukti bagaimana aturan perang Islam diterapkan dengan penuh keadilan dan kemanusiaan, tetapi juga memiliki implikasi politik yang sangat kuat. Hal ini mengajarkan bahwa perang bukan hanya tentang kekuatan militer, tetapi juga tentang strategi diplomasi dan legitimasi politik.

Sejarah Konvensi Jenewa dan penerapannya dalam hukum positif telah memperkuat perlindungan hak asasi manusia dalam konflik bersenjata. Namun, realitas politik global menunjukkan bahwa aturan perang sering kali diterapkan secara selektif sesuai dengan kepentingan negara tertentu. Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami bahwa perang, selain sebagai alat pertahanan, juga selalu memiliki dimensi politik yang perlu dikritisi dengan bijak.

Apakah mungkin nilai-nilai etika perang Islam bisa menjadi solusi bagi ketidakadilan dalam penerapan hukum perang modern? Sebuah refleksi yang layak untuk dipertimbangkan.

 

Disusun Oleh Bidang Politik dan Hukum PC Pemuda Persis Bajaran

Penyusun Konten : Rifki Shofwan N, S.H.

Penulis : Helmi Febriansyah R, S.H.

Editor : Faizal Rizqi S, S.Pd, M.Pd. & Briptu Rodli Salam A H, S.H.